Tarbiyah... Yah,,itu kata kuncinya. Liqo’, murobbi, mutarobbi,
ikhwan, akhwat dan ilmu.. Setidaknya itu yang kuketahui dari sepenggal kata
ini. Majelis ilmu sebagai taman-taman syurga, tempat berkumpulnya para Perindu
Syurga.
“Hidup hanya
sekali, hiduplah yang berarti”. Kalimat
ringkas sarat makna yang sempat kutangkap ketika murobbiyatiy memberikan pesan-pesan penutup tarbiyah yang cukup menyita
perhatianku tuk merenung.
Pernahkah terbesit dalam pikiran
kita, sesuatu yang paling jauh dari titik sekarang? Yah, Sesuatu yang paling jauh itu adalah ‘waktu
yang baru saja terlewati. Detik yang baru saja kita lewati ketika
membaca kalimat ini. Kenapa dikatakan paling jauh? Karena ia tak akan pernah
kembali lagi. Waktu itu tak akan pernah terulang bahkan untuk satu detik pun.
Aku mulai mengenal tarbiyah ketika duduk di
bangku SMA.. Entah kenapa, begitu banyak alasan-alasan yang terlontar dengan
ringan dari mulutku. Menolak ajakan teman untuk bertarbiyah dengan berbagai
alasan.
Kala itu rumahku berdekatan dengan masjid.
Disana, sering diadakan pengajian, tarbiyah maupun daurah-daurah yang
diselenggarakan oleh Para Perindu Syurga. Mungkin kalian pikir aku bagian dari
mereka?? Tidak.. Sama sekali tak terbesit dalam hatiku untuk ikut bergabung.
Tarbiyah, Kata ini hampir saja kulupakan.. Hingga kuterlena dengan urusan
duniaku.. Membutakan hati akan hakikat
penciptaanku .
Hingga suatu sore, aku merasa terjebak dan
ikut dalam tarbiyah itu. Tak bisa kupungkiri, hatikupun luluh seketika,
melupakan sejenak aktifitas-aktifitas yang lebih menyenangkan di luar sana.
Masih sibuk dengan pikiranku sendiri, entah kenapa bagiku tarbiyah seakan
menjadi rutinitas yang membosankan.
Setelah menduduki bangku SMA kelas II, aku
melanjutkan tarbiyah yang dibawakan oleh guruku dan masih terbilang sangat
jarang. Entah virus apa lagi yang menggorogoti kepalaku. Entah
hambatan-hambatan konyol apa lagi yang menyandera kepalaku sehingga hatiku
menjadi bungkam.
Mungkin aku salah memahami tarbiyah selama ini. Awalnya, aku
memahami tarbiyah sebatas ‘apa yang bisa kudapat?’, sehingga ketika mendengar
kata liqo’,yang
ada dalam pikiranku adalah materi apa yang akan disampaikan murobbi.
Ketika kumulai melangkah di bangku Universitas, semakin kurasakan
kualitas imanku mulai luntur. Dari beberapa bagian kalbu yang tak tersentuh
noda tak bisa berdusta bahwa akupun masih mengkhawatirkan imanku yang semakin
hari semakin luntur. Mengingat mata kuliah Pendidikan Agama Islam tak cukup
membantu dan terbatasi oleh waktu yang begitu singkat.
Hingga akhirnya aku mengikuti kegiatan
mentoring pada semester II yang wajib diikuti oleh mahasiswa semester II
sebagai syarat mengikuti final kuliah Pendidikan Agama Islam. Tarbiyah
rutinitas ini akhirnya semakin meluluhkanku. Dipertemukan dengan seorang
murobbiyah yang menambah semangatku mempelajari ilmu agama sebagai tempat
berpegang teguh.
Kadang mungkin kita merasa bahwa murobbiyah
kita tidak cocok dengan kita, merasa tidak sepaham dan banyak lagi. Tapi
ketahuilah, dia adalah orang yang akan terus berusaha memahami kita, mendo’akan
kita dalam setiap shalatnya, yang selalu siap untuk menerima segala macam
pertanyaan, keluhan bahkan untuk memberikan bantuan. Murobbiyatiy
sungguh luar biasa dan aku terlalu bodoh sehingga tidak benar-benar
menikmatinya pada waktu itu.
Dan akhirnya tahukah kamu?? Tarbiyah itu indah
Ukhtifillah. Ilmu di dalamnya bagaikan menyirami kalbu yang begitu penat dengan
tetesan-tetesan beningnya. Sudah sepantasnya jika majelis ilmu disebut sebagai
taman-taman syurga. Pernahkah kau bayangkan duduk bersama Para Perindu Syurga
di bawah naungan sayap-sayap Malaikat?? Disanalah tempat yang teduh Ya Ukhty.
Aku tahu, aku bagian yang tidak membanggakan, tidak utuh. Aku pun
tak bisa diajak kerjasama dengan baik, dan kusadari kemampuan, skill, dan pengetahuan
tentang keagamaanku sangatlah minim yang sebatas kulitnya saja. Bahkan
seringkali aku mencaci diri sendiri, “mengapa sampai sekarang aku masih ikut
liqo’? Akan sangat memalukan bagi kader tarbiyah yang lain saja.” Tapi, inilah
aku. Tarbiyah satu-satunya yang kumiliki saat ini dan aku tidak berniat
melepaskannya. Semoga Allah SWT meridhoi langkahku. Aku menyadari kekurangan
dari proses tarbiyahku. Ketika kubaca lagi lembaran-lembaran artikel yang
bertebaran mempertanyakan “Sudahkah kita bertarbiyah?”, hati ini terasa perih
tertohok – tohok. Begitu jauhnya aku dari proses itu.
Aku merasa terlalu sombong dalam hidup ini. Aku telah berani
menggunakan jubah-Nya. Aku merasa telah melakukan banyak hal, merasa telah
memahami segala sesuatunya. Tapi kenyataan berkata lain. Yah, aku bukanlah
siapa-siapa, apa yang kulakukan bukanlah apa-apa. Aku tidak ingin menjadi beban
dalam dakwah, aku hanya berharap bisa ikut memikulnya walau setitik. Bagaikan
lagu yang sedang tenar di kalangan remaja sekarang. Tanpa-Mu,,Butiran Debu.
Yah,,akulah butiran debu itu.
Walaupun aku bukan siapa – siapa. Tidak banyak yang bisa kulakukan.
Tapi aku yakin, kita adalah bagian dari roda itu. Maka, izinkanlah aku
bergabung bersama engkau Para Perindu Syurga. Murobbiyahku,
izinkan aku mencintaimu karena Allah, dengan cara dan segala kekuranganku…
Ukhti fillah …
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu bahwa
Rasulullah Saw bersabda, “jika kalian melewati taman-taman surga maka singgahlah dengan
senang.” Para sahabat
bertanya, “Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, “Halaqoh-halaqoh
dzikir.” (HR. at-Tirmidzi dan
lain-lain)
Tahukah kalian??? “Majelis-majelis dzikir adalah
majelis-majelis ilmu yang diadakan di rumah-rumah Allah untuk belajar, mengajar
dan mencari pemahaman tentang agama.”
Beliau juga berkata, “Majelis dzikir yang
dicintai oleh Allah adalah majelis-majelis ilmu, bersama-sama mempelajari
al-Quran dan as-Sunnah dan mencari pemahaman tentang hal itu.”
Akupun tahu, kelompok kecil kita bukanlah kelompok liqo’ yang bisa
dikatakan membanggakan. Kelompok liqo’ yang masih labil, tapi aku tahu sebenarnya kalian tidak menginginkan demikian. Mari
kita bersama-sama menata barisan, aku
ingin kita melangkah bersama.
Isinya kok serba curhatan yah ( :D xixixi)
BalasHapus